Thursday, October 11, 2007

Petani Bali, Tanam Bunga Jadi Alternatif

Perbaikan nasib petani yang sering diwacanakan maupun peluncuran program pertanian ternyata tidak banyak menyentuh petani. Buktinya, dari sejumlah petani yang ditemui, sebagian besar menyatakan tak ada perbaikan nasib. Lalu, apa kiat mereka untuk bertahan hidup di tengah keterpurukan harga komoditi pertanian?

Bali Post/dok
ALIH PERAN - Buruh luar daerah kini mengambil alih peran tenaga lokal dalam memanen padi.

BERCOCOK tanam sayur dan bunga pacar, kini menjadi alternatif para petani di sejumlah kabupaten di Bali. Di Kabupaten Klungkung, banyak tanah sawah tidak lagi ditanami padi, tetapi bunga pacar. Petani beralasan, hal itu dilakukan lantaran biaya operasional yang dikeluarkan untuk menanam padi tidak sebanding dengan hasil panen. Bahkan, cenderung lebih tinggi biaya operasional.

Wayan Kerta, petani di Subak Mungguna, Tihingan, mengakui hasil bunga tak seberapa, tetapi melebihi biaya produksi yang juga tak banyak. Hal sama diakui petani Subak Mekoodan, Nang Kapuh, Pan Siring dan Nang Rudi. Mereka mengaku, hasilnya sebagai petani benar-benar tak layak. Makanya mereka tak heran kalau generasi muda sekarang makin menjauhi sektor ini.

Anggota DPRD Klungkung Ketut Ariyasa menuding banyaknya lahan sawah yang ditanami bunga akan menggagalkan upaya swasembada pangan. Hal ini dampak dari ketidakpedulian pemerintah dalam upaya peningkatan produksi. ''Mereka hanya melaksanakan program rutin yang tidak menunjukkan peningkatan hasil produksi. Akibatnya, petani hanya bisa berproduksi untuk memenuhi konsumsi sendiri.''

Petani di Tabanan juga mengeluhkan hal yang sama. I Wayan Budiarta dari Baturiti Kaja yang memiliki sawah di Subak Meliling dan Pan Putra asal Mandung menyatakan harga pupuk dan obat-obatan yang tinggi sangat memberatkannya. Kak Bayu yang memiliki sawah di Subak Mandung juga mengeluhkan harga pupuk dan obat-obatan. Kak Bayu menyatakan jika dihitung dengan biaya produksi dan hasil yang didapatkan, dipastikan akan minus.

Pendapat yang hampir senada juga disampaikan Pan Suka, Pan Sutarja dan I Ketut Bina yang memiliki sawah di Subak Wangaya, Penebel. Gangguan hama sering membuat petani ketar-ketir karena takut gagal panen. Dengan harga pupuk seperti saat ini, nasib petani akan membaik manakala harga gabah saat panen dapat dikontrol, bukan selalu anjlok ketika panen.

Maka tak salah dengan kondisi itu, banyak petani di Buleleng kini memperlakukan pekerjaan pertanian sebagai sampingan. Memang, jika melulu hanya mengandalkan hasil pertanian mereka masih bisa makan sehari-hari, namun tak akan bisa menyekolahkan anak-anak mereka sekaligus memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga.

Sebagaimana diakui Gede Yadnya, seorang petani dari Banjar Abasan Desa Panji Anom Kecamatan Sukasada. Dulu, ketika kebutuhan hidup belum sebesar sekarang, ia masih bisa hidup nyaman menjadi petani. Namun kini, selain kebutuhan hidup keluarganya terus meningkat, juga kebutuhan pupuk dan obat-obatan untuk meningkatkan hasil panen juga harganya semakin mahal. Untuk itu, sejak sekitar sepuluh tahun lalu ia sudah tak berharap banyak lagi dari hasil pertanian. Ia hanya ke sawah ketika musim sedang bagus, sementara pada hari-hari biasa ia terpaksa bekerja di bidang lain, seperti pertukangan. ''Jika hanya mengandalkan pertanian, kami tak bisa menyekolahkan anak-anak,'' katanya.

Hal yang sama dikatakan I Made Mustika dari Banjar Mandul Desa Panji Anom, Sukasada. Menurutnya, menjadi petani bukanlah pekerjaan gampang, bahkan lebih sulit dari pekerjaan lain. Apalagi harga pupuk dan obat-obatan terus meningkat dan kondisi irigasi makin amburadul. ''Air saja susah diperoleh, apalagi pupuk yang harganya mahal,'' katanya.

Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Buleleng Ir. Putu Ardika mengakui anggaran untuk pertanian tahun 2007 ini berjumlah sekitar Rp 9 milyar. Anggaran itu meningkat dari tahun 2006 lalu yang jumlahnya hanya Rp 7 milyar. Namun, ia mengakui jumlah anggaran itu masih kurang jika dibandingkan dengan berbagai program yang harus dilaksanakan untuk kembali memberdayakan pertanian di Buleleng.

Harga Rendah

Di Karangasem juga setali tiga uang. Pemberdayaan masyarakat petani masih sekadar wacana. Petani seringkali cuma disuruh menanam, tetapi setelah ada hasil harganya rendah akibat petani tak memiliki daya tawar.

Sejumlah klian subak dan petani di Karangasem mengeluhkan hal itu saat berdialog dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dra. IA Agung Mas, Selasa (9/10) kemarin. Ketua Asosiasi Petani Cengkeh Karangasem Nyoman Merta mengatakan, harga cengkeh kering kini anjlok cuma Rp 28 ribu per kg. Demikian juga harga vanili. Jebloknya harga cengkeh akibat jalur pemasaran yang terlalu panjang.

Anggota DPRD Karangasem Nyoman Subaga, S.T. di Amlapura mengatakan para petani di Karangasem kerap mengeluh, karena jerih payahnya bekerja membanting tulang tak sepadan dengan hasilnya. Dia mengakui memang sudah ada proyek seperti perbaikan irigasi sawah, tetapi belum seberapa. Saluran irigasi masih lebih banyak yang rusak.

Ia juga menambahkan, bantuan pemerintah berupa 60.000 ton bibit padi enam bulan lalu, justru menyebabkan petani merasa dibodohi. Bibit padi yang diberikan diduga cuma pelemparan untuk kepentingan politik tertentu. Nyatanya, petani yang menggunakan bibit padi itu menyebabkan gagal panen total. Soalnya, bibit padi Ciherang itu sama sekali tak tahan tungro, sehingga tanaman padi total daunnya memerah diserang tungro ganas. Padahal penyakit tungro di Karangasem sejak dulu dikenal endemis.

Kadis Pertanian Tanaman Pangan Karangasem Subrata Yasa saat dihubungi beberapa waktu lalu mengatakan, belakangan ini sulit mencari bibit padi yang tahan tungro. Jenis padi yang tahan tungro seperti variets tukad Petanu atau Unda. Dikatakan, distribusi pupuk bersubsidi yang dulu sempat dikeluhkan petani kini sudah lancar. (tim BP)

No comments: